Hari masih pagi, sang fajar belum menampakkan wujudnya
sepenuhnya, namun Yustinus Indriyanto, atau yang biasa dikenal sebagai Pak Yus,
sudah harus mengayuh sepedanya dengan kencang untuk mengantarkan Susu Kedelai
Bu Tin ke pelanggan. Susu kedelai yang manis dengan rasa alami tanpa tambahan
bahan kimia ini menjadi andalan Pak Yus untuk mencari nafkah sehari – hari. Ia
mesti mengedarkan susu kedelainya ke rumah – rumah pelanggan yang sudah sangat
ia hafal alamatnya.
Susu Kedelai Bu Tin ini telah berdiri sejak tahun 2000an,
tepatnya di bulan Agustus. Pada saat Tim KKN berkunjung kerumah Pak Yus yang
berada di RT 16, kebetulan istrinya, Bu Tin lah yang ada di rumah. Dari obrolan
dan wawancara kami dengan beliau, Bu Tin berujar bahwa motivasinya memulai
pembuatan usaha Susu Kedelai ini berawal dari penyuluhan yang dilakukan oleh KWT
(Kelompok Wanita Tani) “Sri Asih” yang ada di Karangduwet I ini. Dari situ, ia
kemudian mulai mencoba praktek membuat sendiri susu kedelai di rumah. Tujuan
awalnya, ia hanya ingin membuat susu kedelai untuk konsumsi pribadi dan
keluarga. Bahan – bahannya cukup sederhana, yakni kedelai, air, pandan, dan
jahe, dan gula merah sebagai pemanisnya. Tak ada tambahan pemanis buatan atau
pewarna makanan, semua bahan yang dimasukkan merupakan bahan – bahan alami. Dengan
proporsi yang sudah ditentukan, ia mulai membuat susu kedelai untuk pertama
kali.
Tak disangka – sangka, susu kedelai yang ia buat cukup
lezat. Sebagian dari susu kedelai itupun ia bagikan ke pada tetangga – tetangga
sekitar. Sambutan yang hangat pun diterima, banyak tetangga menyukai rasa alami
Susu Kedelai Bu Tin. Kemudian beliau berfikir untuk membisniskan hal ini.
Sedikit demi sedikit, ia mulai mengambil untung dari penjualan susu kedelai
ini. Perbungkusnya ia jual 5 ribu, dan tiap bungkus bisa disajikan untuk 2
hingga 3 gelas. Dari situlah terpikir untuk menseriusi bisnis ini dan menjual
susu kedelai secara luas.
Pada awal – awal pemasaran, promosi dilakukan dari mulut
ke mulut. Setiap tetangga yang menjadi langganannya kemudian memberitahukan
kelezatan susu kedelai ini ke kerabat – kerabatnya, sehingga dari situlah Bu
Tin mendapatkan pelanggan baru. Hingga sudah 13 tahun berjalan, pelanggan Susu
kedelai Bu Tin sudah mencapai ratusan.
Dengan setia, suaminya yakni Pak Yus, mengedarkan susu
kedelai ini ke rumah pelanggan. Semua ditangani sendiri oleh keluarga ini,
mulai dari belanja bahan, pembuatan susu kedelai, hingga penjualan dan
pengantaran ke rumah – rumah pelanggan, semua dikerjakan oleh seluruh anggota
keluarga. Beliau tak ingin mempekerjakan seorang pegawai sekalipun. Pernah
suatu ketika beliau mempekerjakan seorang pegawai, namun pegawai ini kurang
maksimal dalam bekerja. Bahkan, ia justru “mematikan pelanggan” dengan cara
menjual susu kedelai buatan sendiri, namun mengatasnamakan susu kedelai
tersebut sebagai buatan Bu Tin, agar meraup keuntungan banyak. Namun, pelanggan
tak mudah dibohongi begitu saja. Lambat laun, pelanggan sadar bahwa susu yang
diminum bukan buatan Bu Tin karena rasanya yang berbeda dan hambar.
Meski menemui pengalaman pahit tersebut, Bu Tin tetap
menerima dengan ikhlas dan melanjutkan usahanya. Tak disangka – sangka, usaha
yang awalnya hanya ‘iseng’ ini sanggup meraih keuntungan hingga Rp 150.000
sekali produksi. Bu Tin berujar, dalam seminggu ia sanggup memproduksi susu
kedelai sebanyak 4 kali, sehingga dalam sebulan setidaknya uang sebesar dua
juta rupiah bisa ia dapatkan. Memang, tak setiap hari ia bisa membuat susu
kedelai. Hal ini dikarenakan proses pembuatannya yang tidak singkat. Bayangkan,
dari sekali produksi bisa memakan waktu 4 jam. Proses dimulai dari pengelupasan
kulit kedelai dan perendaman yang memakan waktu 8 jam. Setelah itu, dilanjutkan
dengan proses memasak yang memakan waktu 2 jam. Baru setelah itu, dibutuhkan
setidaknya 2 jam lagi untuk membungkus dan mengemas susu kedelai tersebut.
Selain itu, beliau pun tetap bersikukuh mempertahankan
rasa alami susu kedelainya dengan tidak menjual susu dalam berbagai varian
seperti yang banyak dilakukan kompetitornya. Beliau beranggapan, terlalu banyak
campuran rasa dan pewarna menjadikan susu kedelainya tidak alami, dan justru
merusak rasa susu tersebut. Padahal, tujuan awal pembuatan susu kedelai
tersebut bukan hanya menjadi sebuah minuman biasa, tapi juga minuman yang
bergizi yang dapat memberikan khasiat pengobatan. Misalnya, kandungan kedelai yang
penuh gizi, jahe yang mampu menghangatkan badan, gula merah yang mampu menambah
kekuatan dan mensuplai energi, serta wangi khas pandan yang dapat menarik minat
anak – anak untuk mencicipinya.
Meskipun usaha ini dapat bertahan hingga waktu yang
mencapai belasan tahun tanpa berhenti, tak dipungkiri Bu Tin pernah menemui
saat – saat susah dan kendala yang cukup menyita energi. Kendala itu misalnya
ketidakmampuan Bu Tin dalam mengemas susu kedelainya dengan kemasan yang
menarik. Sebab, beliau belum memiliki ilmu dan gambaran mengenai cara mengemas
susu kedelai dengan baik. Sehingga, selama ini susu kedelainya hanya dibungkus
plastik biasa dan diikat seadanya. Tidak ada label atau cap apapun yang menjadi
logo atau brand dari kemasan susu kedelai ini. Kendala lain yang ditemui Bu Tin
adalah mahalnya harga bahan utama, terutama kedelai yang terus meningkat.
Terlebih di saat – saat seperti ini, di kala nilai rupiah semakin melemah dan
nilai tukar dollar semakin naik, menyebabkan harga kedelai terus melambung. Hal
ini tentu saja membuat keuntungan yang didapatkan semakin berkurang. Namun,
dengan legawa beliau berkata, “ Nggak apa – apa mbak sekarang untung kecil,
dulu kan saya pernah mengalami untung besar. Kalau sekarang untungnya kecil
yang wajar saja, sebagai imbal baliknya. Yang penting masih ada untung walaupun
sedikit”. Waktu Tim KKN menanyakan mengapa tak menaikkan saja harga susu
kedelainya, beliau menjawab bahwa ia tak berani menaikkan harga susunya karena
takut pelangganya kabur. Selain itu, ia menganggap bahwa harga Rp 5.000 yang ia
terapkan sudah terlalu tinggi, apalagi untuk pemasaran di desa. Sebab, ia
menilai bahwa harga susu kedelai kompetitornya bisa jauh lebih murah. Meski
demikian, ia tak khawatir dengan persaingan harga karena ia mengunggulkan kualitas.
Ia menganggap bila susu kedelai dijual terlalu murah, dapat dipastikan bahwa si
penjual mengurangi takaran kedelainnya, sehingga rasa kedelainya menjadi
berkurang dan hambar. Hal ini tentu saja berbeda dengan rasa Susu Kedelai Bu
Tin yang kental dan manis alami, sehingga meskipun dibanderol dengan harga yang
lebih tinggi, tetap saja banyak peminatnya.
Walaupun sudah hampir memasuki tahun ke-14 usahanya, ia
masih perlu berfikir ulang untuk mengembangkan usahanya menjadi usaha kelas
menengah yang bisa mempekerjakan banyak pegawai. Padahal, tawaran akan
pelanggan – pelanggan baru selalu berdatangan yang terkadang tidak tertangani
dengan baik oleh Bu Tin. Ia berujar, permintaan akan Susu Kedelai ini sampai ke
kecamatan – kecamatan sebelah di luar Wonosari. Namun, ia masih belum berani menerimanya
dikarenakan lokasi pelanggan yang cukup jauh dan ia tak memiliki cukup waktu
untuk mengantarkannya, mengingat ia harus mengantarkan susunya setiap hari ke
rumah pelanggan. Pernah terlintas di benaknya untuk membuat usaha ini besar
dengan proses distribusi dan pemasaran yang lebih terorganisir, tetapi beliau
tak tahu bagaimana dan darimana harus memulainya.
Dari pembicaraan tersebut, Tim KKN mengusulkan kepada Bu
Tin untuk meminjam kredit kepada Bank dan menyewa tempat untuk berusaha dan
memasarkan susunya ke pangsa yang lebih luas. Tetapi sekali lagi, belum ada
keberanian di benak Pak Yus dan Bu Tin.
Untuk itu, dari identifikasi masalah dan kendala yang
dihadapi Bu Tin dalam memasarkan susu kedelainya, Tim KKN berkesimpulan bahwa
yang dibutuhkan oleh Bu Tin saat ini adalah pembinaan yang lebih serius terkait
proses pengemasan dan pengembangan usahanya agar lebih mapan. Ke depannya, Tim
KKN akan mengusulkan kepada Kepala Dusun dan Perangkat Desa lainnya untuk
memberikan pendampingan pada usaha milik Bu Tin ini. Selain itu, kami juga
berpesan kepada Tim KKN tahun depan agar dapat mendampingi usaha Susu Kedelai
Bu Tin dan membantu proses pemasarannya.